Aku paling sering terjaga melewati tengah malam. Sulit kemudian menentukan hari apa saat ini, atau besok hari apa. Aku suka untuk tidak menentukan waktu, untuk tidak membaca yang kudengar, untuk merekam yang kulihat.
Karena pada dasarnya, tidak perlu alasan untuk tidak bahagia. Sementara, banyak alasan untuk kita bisa bahagia. Sialnya, satu pun aku belum punya. Hobiku memang sok cari perhatian.
Menonton film yang menguatkan diriku, memang seharusnya tidak usah merepotkan orang lain. Walau ketika tidak merepotkan orang lain, kau tidak menemukan yang kau cari. Menghapus kembali pesan yang sudah kuketik, dan berkata temukan bahagiamu. Berbisik dalam hati, bahagiaku nanti gampang.
Aku ingin pulang ke Jogja. Tidur di kasur kamarku. Melihat jendela kamarku yang langsung tembus ke langit. Menghabiskan waktu untuk tidak melakukan apapun, tanpa besok harus melakukan semuanya. Atau menghabiskan waktu dengan melakukan semuanya hari ini.
Bukan perihal Baron atau Sanur. Semua pantai ada di kedua mata orang yang kau ajak. Jarak hanya sebatas kedua tanganmu dengan pinggangku. Lagipula aku suka untuk tidak menentukan waktu. Waktu tidak akan pernah cukup. Tapi waktu juga tidak akan pernah habis..
Jam 02.15 aku menulis ini. Nanti pagi harus pergi ke Jakarta. Pada putaran ke empat lagu Kodaline berjudul High Hopes, aku mengucapkan terima kasih.
Saturday, 7 July 2018
Sunday, 29 April 2018
Pulang ke Jogja
Perjalanan pulang membawa diriku kembali pada ruang-ruang yang mungkin seharusnya tak boleh aku kunjungi. Hobiku yang enggan menyelesaikan banyak hal, membuat diriku terikat kepada apa-apa saja yang kubiarkan berdiri tersenyum di depan kamarku. Pada momen-momen tertentu, aku akan berjalan mendekat ke pintu kamarku, lalu berbincang, tertawa, berkata rindu, lalu kemudian kembali duduk di meja belajarku. Aku tak pernah membawa mereka masuk. Aku juga tak pernah benar-benar keluar, lalu berjalan pergi menuju rumah orang-orang yang dengan sabar menengadahkan waktu untukku.
Lalu waktu yang aku tahu betul pasti akan datang menyapaku dengan sepi dan getir. Kulihat tangan-tangan yang hangat, yakin, dan mantap merangkul waktu dan orang-orang di depan kamarku. Aku masih bisa melihat mereka dengan jelas. Tapi sedekat apapun aku dengan pintu kamarku, suaraku tak akan sampai menepuk daun telinga penghuni selasar kamarku. Keterikatan yang secara sadar aku bangun pelan-pelan menjadi udara yang menyesakkan. Secara pasti, aku tahu betul akan semencekik apa, sesunyi apa, sedingin apa, dan semenangis apa keterikatanku tadi akan bermetamorfosa.
Mungkin pada dasarnya, kesepian hanya membutuhkan kesepian lain. Tangis, hanya membutuhkan tangis yang lain, kematian hanya membutuhkan kematian yang lain. Tapi aku terus bertanya kepada diriku sendiri, apa yang aku butuhkan? Karena aku tahu,bahkan aku tidak memiliki diriku sendiri.
Sesederhana kapan aku bisa meneleponmu, memintamu untuk membangunkanku pada waktu dinihari, berkunjung ke rumahmu dan meminum jus buatan ibumu, pergi ke Kesirat dan makan di ASP, saling meminjam koleksi buku-buku puisimu dan puisiku, memintamu berkunjung ke Tangerang, berkata aku akan pulang ke Jogja, memastikan padamu kalau aku merindukanmu.
Seyogyanya hidup terus berjalan, waktu juga akan terus berputar. Memiliki dan dimiliki, meraih dan diraih, memanggil dan dipanggil, menulis dan ditulis.
Terima kasih. Aku mau kembali dulu ke kamarku.
Tag:
#haripuisi,
#rindu
Saturday, 2 December 2017
2.15
Bagiku, menulis menjadi menarik bila ditemani lagumu.
Apa pesanmu hari ini?
Kubaca tulisan teranyarmu. Aku tidak ingin mengubah apapun. Menemanimu melewati satu per satu senja malammu pasti akan menyenangkan.
Apa pertanyaanmu hari ini?
Aku tak perlu menjadi jawaban. Duduk berdua di tebing pantai menunggumu menganyam jawab jauh lebih melegakan.
Aku tidak membalas pesanmu.
Menjaga jarak, biar bisa bergerak (katanya). Kau pasti lelah, aku yang tak dekat, hanya menambah repot saja. Lagipula perlahan aku tau, aku bukan yang kau cari.
Sudah bulan Desember, Jogja tergenang air.
Apa perjalanan ke Kesirat masih sebasah dulu?
Apa pesanmu hari ini?
Kubaca tulisan teranyarmu. Aku tidak ingin mengubah apapun. Menemanimu melewati satu per satu senja malammu pasti akan menyenangkan.
Apa pertanyaanmu hari ini?
Aku tak perlu menjadi jawaban. Duduk berdua di tebing pantai menunggumu menganyam jawab jauh lebih melegakan.
Aku tidak membalas pesanmu.
Menjaga jarak, biar bisa bergerak (katanya). Kau pasti lelah, aku yang tak dekat, hanya menambah repot saja. Lagipula perlahan aku tau, aku bukan yang kau cari.
Sudah bulan Desember, Jogja tergenang air.
Apa perjalanan ke Kesirat masih sebasah dulu?
Tuesday, 4 July 2017
?
Selamat menikmati malam.
Laki-laki berjalan di trotoar. Berteriak dari bilik yang jauh. Menghidupi mimpi tak selama jadi primer. Tergerus atau menggerus, lelaki berjibaku melawan diri sendiri.
Menunggu kereta, lelaki bertanya pada diri, mengapa kita terlalu banyak diam menanti? Lelaki ingin mengejar dengan kakinya sendiri.
Lelaki adalah ketakutan membuang nota-nota tahun lalu. Memenuhi isi dompet, hingga uang gerah dan minta untuk pergi.
Berjalan tapi tak kemana-mana. Lelaki terus membawa alphanya, omega tak dapat kamar di petak rumahnya.
Laki-laki berjalan di trotoar. Berteriak dari bilik yang jauh. Menghidupi mimpi tak selama jadi primer. Tergerus atau menggerus, lelaki berjibaku melawan diri sendiri.
Menunggu kereta, lelaki bertanya pada diri, mengapa kita terlalu banyak diam menanti? Lelaki ingin mengejar dengan kakinya sendiri.
Lelaki adalah ketakutan membuang nota-nota tahun lalu. Memenuhi isi dompet, hingga uang gerah dan minta untuk pergi.
Berjalan tapi tak kemana-mana. Lelaki terus membawa alphanya, omega tak dapat kamar di petak rumahnya.
Saturday, 10 June 2017
Wednesday, 10 May 2017
Dua Jari Tak Pernah Seorang Diri
Aku waktu itu melihatmu.
Dalam sebuah kotak bisu
yang aku sebut burjo dan angkringan.
Aku dan para karibku,
adalah nyawamu yang membisu.
Di sana kami sibuk mengelukan dan meneriakkan namanu.
Sementara kamu, nyawa kami
menopang otak, perut, juga dompret kami.
Aku waktu itu melihatmu.
Sepenggal puisimu yang diiris,
minta diantar pulang kepadaku.
Tapi aku masih sibuk,
beribadah di ibukota diamku.
Aku yakin, nyawa sebuah harap
tak mungkin satu rangkap.
Aku hari ini kembali melihatmu.
Nyawa-nyawa yang membisu,
pontang-panting melonglong menyerukan namamu.
Kamu sudah matikah?
Adilkah aku basah dalam air matamua?
Bolehlah aku, duduk bersama dalam jeruji sunyimu?
Dalam sebuah kotak bisu
yang aku sebut burjo dan angkringan.
Aku dan para karibku,
adalah nyawamu yang membisu.
Di sana kami sibuk mengelukan dan meneriakkan namanu.
Sementara kamu, nyawa kami
menopang otak, perut, juga dompret kami.
Aku waktu itu melihatmu.
Sepenggal puisimu yang diiris,
minta diantar pulang kepadaku.
Tapi aku masih sibuk,
beribadah di ibukota diamku.
Aku yakin, nyawa sebuah harap
tak mungkin satu rangkap.
Aku hari ini kembali melihatmu.
Nyawa-nyawa yang membisu,
pontang-panting melonglong menyerukan namamu.
Kamu sudah matikah?
Adilkah aku basah dalam air matamua?
Bolehlah aku, duduk bersama dalam jeruji sunyimu?
Tuesday, 14 March 2017
(?)
Kau akan terlambat esok hari, menonton web series kesukaanmu. Mungkin juga kau akan terlambat hadir di rapat, di mana kau diundang di sana. Terlebih kau terlambat mematikan dian oleh ibumu tak boleh dinyalakan itu. Tapi kau sangat suka dian itu. Sumbunya bagus, meski ada karat di beberapa tempat. Tapi kau suka. Kau suka melihatnya nyalanya yang terkadang menari-nari tertiup angin. Atau ketika terlalu besar apinya bikin hitam tutupnya. Tapi sialnya kau terlambat mematikannya. Kau terlambat mematikannya. Dian itu kini sudah besar dan ingin pergi jalan-jalan sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)