Di lorong-lorong yang kosong, aku mendengar riuh-riuh bebalmu. Kamu tidak perlu berteriak untuk memekakkan telingaku.
Banyak kutebar bingkisan untukmu. Jalan-jalan yang dingin sehabis hujan, ngeong kucing yang lewat di atas langitmu, juga cakrawala yang kau tatap dengan kosong. Sayang, untuk sekedar meraih kau masih tak tega.
Kuyakin kau tak perlu "iya" ku. Kau sendiri pasti tahu benar, apa yang kutulis akhir-akhir ini memang untukmu sahaja.
Menjadi kota semacam dirimu memang tidak mudah. Dengan segala ruwetnya dan umpatan-umpatan di lirih malammu, bukankah seharusnya kau butuh bahu untuk sekedar bersandar? Tapi bahu macam apa juga yang mampu menopang kota dengan segala isinya? Mungkin, bahuku memang belumlah cukup untukmu.
Pulanglah hari ini. Jika kau tak mau berkabar kembali, tak usah kau merasa bersalah. Sungai-sungaimu yang menghitam sudah cukup untuk buatku mengerti.
Kembalilah tahun depan. Semoga tercium bau kembang api dari kelopak matamu. Aku janji akan diam saja, tatkala kau lewat di jalan-jalanku. Tak akan kubahas lagi Gibran dan Pramoedya di sela-sela pedasmu akan ayam sausku. Kalau sempat, pergilah lagi ke selatan. Lumpur dan batu yang membuat soak sepatumu masih merasa bersalah.
Kalau mencari, aku ada di sekitarmu. Kalau masih mencari, aku ada di sekitarmu. Kalau pun kau tak mencari, aku tetap di sekitarmu. Kalau kau sudah tak ada yang mencari, maka kapal ini pastilah sudah menepi di labuhmu.
No comments:
Post a Comment