"Di mana ada musim yang menunggu?
Meranggas merapuh
Berganti dan luruh
Bayang yang berserah
Terang di ujung sana"
Banda
Neira dalam “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti”
Saya masih ingat betul, kapan pertama kali mengenal nama “Banda
Neira”. Lewat bundaran Kridosono, sederet kertas berukuran A4 fullprint nyata berlafal
B A N D A N E I R A. Meski hanya tertempel di pojok bawah baliho dan tak
seberapa besar, tapi sangat mudah tuk dibaca. Kalau tidak salah, waktu itu
pertama kali Banda Neira main di Jogja dan teman-teman dari UGM yang mengundang
Nanda dan Rara. Sayangnya, saat itu saya urung untuk menonton Banda Neira
secara langsung.
Kali kedua, saya berbincang banyak dengan teman wanita saya
mengenai Banda Neira. Teman saya ini sangat menyukai Banda Neira dan bisa
sebegitu ceriwisnya mengulas tentang mereka. Rasa penasaran memenuhi diri saya
kala itu. Melanconglah saya ke soundcloud dan tumblr milik Banda Neira. Saya
kemudian tahu, separuh Banda Neira adalah Ananda Badudu. Pria gondrong dengan
celana sobek-sobek yang hampir ditabiskan sebagai pemimpin umum sepanjang masa
Media Parahyangan. Separuhnya lagi adalah Rara Sekar, wanita nekat setengah
mati yang terlalu mengkilat buat jadi aktivis.
“Tentu Banda Neira tidak akan sama tanpa Ananda. Banda Neira,
mungkin, tidak akan ada kalau tidak ada Ananda. Karena separuh, sebagian, atau
sebagian besar dari Banda Neira adalah Ananda.” – Rara Sekar
“Dan Banda Neira tentu tak akan sama tanpa Rara. Tak akan
seseru itu tanpa orang senekat dia. Mau saja diajak proyek iseng yang awalnya
tak jelas mau dibawa ke mana. Jadi kalau ada yang bertanya apa yang membuat
proyek iseng tanpa arah bernama Banda Neira ini berlanjut? Separuh, sebagian,
atau sebagian besar adalah karena Rara.” – Ananda Badudu
Sampailah saya akhirnya menonton Banda Neira secara live.
Bertempat di kampus FEB UGM, berdiri Nanda dan Rara di depan saya. Dialog yang
terjadi antara Nanda Rara dengan penonton sebenarnya terkesan kikuk serta salah
tingkah. Tapi, justru ini yang membuat mereka semakin menarik! Soal alunan lagu
per lagu, tentu tak usah ditanya. Suara khas Nanda dan Rara, serta petikan gitar
juga dentingan xylophone, membuat kami para hadirin mendayu terhipnotis malam
itu. Kekuatan utama Banda Neira bagi saya adalah suasana yang tercipta kala bernyanyi bersama. Hal itulah yang membuat saya ingin lagi dan lagi mendengarkan, bahkan nonton Banda Neira secara langsung.
Pesta rilis album kedua mereka di Jakarta Selatan
ternyata sekaligus menjadi salam perpisahan yang entah sampai kapan dari Banda
Neira. Februari jadi bulan kepergian Rara ke New Zealand untuk studi, setidaknya
selama 2 tahun. Pun begitu, bijak ketika mereka berdua memilih tak menjanjikan
apa-apa. Mereka yang hadir di PGP Cafe malam itu, saya rasa adalah orang yang
beruntung dari yang beruntung bisa mengenal Banda Neira.
Rabu kemarin, 21 Agustus 2016, saya berkesempatan bertemu
dengan Mas Nanda. Di sela-sela agenda pembuatan sesuatu yang terlalu awal
disebut lagu, saya mencuri-curi untuk bertanya banyak hal kepada beliau. Mulai
ulasan Mondo dan Sore di wordpress Mas Nanda, lalu bagaimana bisa terjun ke
dunia musik, dan tentu saja Banda Neira.
Ya, Banda Neira....
Berawal dari wisuda Mbak Rara, Mas Nanda kemudian diminta tolong untuk mengiringi Mbak Rara bernyanyi. Tercetuslah proyek iseng yang bermuara pada Banda Neira. Begitu kurang
lebihnya.
Setelah Mbak Rara pergi studi, Mas Nanda bercerita kalau
itu waktu bagi ia untuk undur sejenak dari dunia musik. "Belum ada rencana Rara untuk pulang juga, tiket mahal juga untuk kembali ke Indonesia.", begitu jawabnya. Tatkala saya bertanya, apakah Rara akan pulang dan kemudian Banda Neira mentas di panggung lagi . Apakah masih
komunikasi dengan Mbak Rara? Ya, sesekali katanya. "Praktis, lagu yang ada di
album kedua belum naik ke atas panggung juga.", imbuhnya singkat. .
Perbincangan mengenai Banda Neira dan Mbak Rara tak
memunculkan prasangka sama sekali kala itu. Setelah ngobrol berdua yang lebih
menjurus satu arah tersebut, kami memutuskan kembali ke teras depan. Bersama Mbak Lani dan Mas Danto, serta
beberapa teman lain di sana, topik mengenai Banda Neira masih muncul ke permukaan.
Kalau saya tak salah ingat, Mas Danto bahkan bercerita kalau belum pernah
nonton Banda Neira secara live. Semuanya tampak berjalan normal dan tak ada yang perlu dirisaukan.
Namun ada satu kesan dingin pada diri Mas Nanda. Saya
merasa kesan ini muncul karena Mas Nanda mungkin jengkel dengan saya yang terus
cerewet dan tak henti bertanya. Apalagi saya tak tahu apa-apa soal musik
kecuali sebagai pendengar saja. Kendati begitu, saya ingat betul raut muka Mas Nanda ketika beranjak pulang dengan motor hijaunya, berat dan sendu. Bisa jadi perbincangan mengenai Banda Neira
dan Rara Sekar jadi beban dan kesedihan tersendiri baginya.
Topik Banda Neira pada malam itu tak berekor panjang sebenarnya dalam cakap Mas Nanda. Beliau menjawab seadanya, tak bercerita panjang lebar. Sangat menyesakkan tentu saja ketika hari esoknya ternyata Mas Nanda, Mbak Rara, dan Banda Neira memproklamirkan akhir dan perpisahan mereka. Banda Neira malam itu, mungkin jadi keterbatasan paling besar dari seorang Ananda Badudu.
Topik Banda Neira pada malam itu tak berekor panjang sebenarnya dalam cakap Mas Nanda. Beliau menjawab seadanya, tak bercerita panjang lebar. Sangat menyesakkan tentu saja ketika hari esoknya ternyata Mas Nanda, Mbak Rara, dan Banda Neira memproklamirkan akhir dan perpisahan mereka. Banda Neira malam itu, mungkin jadi keterbatasan paling besar dari seorang Ananda Badudu.
Tajuk di album kedua yaitu “Yang Patah Tumbuh Yang
Hilang Berganti” barangkali menjadi semacam prolog bagi kita semua penikmat musik Banda Neira. Rentang waktu Nanda dan Rara dalam memetakan arah Banda Neira pun hampir setahun. Tentu saja sebelum memutuskan vakum, perbincangan Banda Neira yang akan seperti sekarang ini sudah muncul ke permukaan
Kendati demikian, saya rasa Banda Neira yang patah ini, akan tumbuh kembali menjadi seperti apa yang mereka dendangkan di album tersebut. Akan berbentuk seperti apa? Tentu tak bisa dijawab dalam waktu yang singkat. Baik adanya kita percayakan semuanya pada Nanda dan Rara. Tak perlu bertanya berulang kali mengapa harus menjadi demikian, hanya akan menambah miris dan sesak saya rasa. Kita hanya perlu berdoa dan memberi semangat apapun itu bentuknya.
Lebih dari itu, selama masih ada telinga kita untuk mendengar, saya rasa Banda Neira akan tetap ada dan abadi dalam pribadi kita masing-masing. Tidak kurang dan tidak lebih tentu saja.
Kendati demikian, saya rasa Banda Neira yang patah ini, akan tumbuh kembali menjadi seperti apa yang mereka dendangkan di album tersebut. Akan berbentuk seperti apa? Tentu tak bisa dijawab dalam waktu yang singkat. Baik adanya kita percayakan semuanya pada Nanda dan Rara. Tak perlu bertanya berulang kali mengapa harus menjadi demikian, hanya akan menambah miris dan sesak saya rasa. Kita hanya perlu berdoa dan memberi semangat apapun itu bentuknya.
Lebih dari itu, selama masih ada telinga kita untuk mendengar, saya rasa Banda Neira akan tetap ada dan abadi dalam pribadi kita masing-masing. Tidak kurang dan tidak lebih tentu saja.
Akhir kata, terima kasih Banda Neira, terima kasih Ananda Badudu dan terima kasih Rara Sekar, juga semua orang yang berperan dalam Banda Neira. Ijinkanlah kami terus menikmati karya-karya Banda Neira sampai satu per satu dari kami jadi debu.
![]() |
| sumber: dibandaneira.tumblr.com |
Salam Nelangsa Riang!
Yogyakarta, 23 Desember 2016


No comments:
Post a Comment